Rabu, 06 Oktober 2010

Glass Splinter Missing 1.9

.” Beneran kamu De’ ngak ada yang mau di ceritain ke aku?”. Tanyanya menyelidik.” Beneran deh enggak. Suer”. Ludhe angkat lengan kanan nya dan tangan nya membentuk angka v untuk membaground in kata-kata “suer”-nya. “Mulutmu yang bilang engak De’ tapi matamu yang bilang ia”. Rasanya tengorokan Ludhe seperti tersangkut benda tajam ketika Ergi berkata seperti itu kepadanya. “Andai lo bisa rasain apa yang gue rasain Gi’, pasti saat ini gue udah cerita panjang lebar ke lo. Dan mungkin ngak bakalan hari ini kita bahas tentang Gatari. Walau sebenarnya aku yang memulai sih.” Suara batin Ludhe yang terlihat sangat terisak kesakitan. Tiba-tiba saja tangan dan kaki Ludhe bergetar perlahan. Keringat dingin agak mengalir di tubuhnya. Rasa ngilu yang bener-bener sulit di tahan. Seakan aktifitas semua organnya mulai berhenti sejenak. Muka Ludhe agak mengrenyit menahan rasa capek yang datang tiba-tiba pada tubuhnya. Berusaha menutupi agar Ergi tidak panik melihat keadaannya yang sebenarnya. “ Gi’, gue nupang kepala gue ke bahu lo ya. Bentar aja” Suara Ludhe terdengar sangat lirih. “ knapa kamu De’? ia tumpangin aja”. Membatu Ludhe meletakkan di bahunya. Ergi melihat keadaan Ludhe yang tiba-tiba aneh. Seumur-umur , selama Ergi barengan terus sama Ludhe, baru kali ini ludhe terlihat sangat capek dan tanpa senyum atau cekikikan di hadapan nya. Capek yang bener-bener terlihat kesakitan. Karena tidak tega melihat keadaanya yang seperti itu, Ergi membopong Ludhe ke kamar nya. Mengangkat dengan sekuat tenaga. Membaringkannya diatas ranjang. Ergi hanya duduk di sebelahnya. Menunggu Ludhe tertidur dan mengosokkan minyak kayu putih di bagian leher dan kakinya. Ergi berpikir kalau Ludhe hanya kecapekkan saja. Setelah melihat Ludhe sudah tertidur dan tidak sadarkan diri, Ergi kembali lagi keluar kamar dan duduk di depan tv. Tepat seperti posisi sebelumnya. Dari dalam terlihat hujan sudah mulai reda. Mimid keluar dari kamarnya dengan mengenggam ponsel di tangan kanan-nya.
“lho? Ludhe mana?”.tanyan Mimid sok kaget.
“ Kecapekkan kayaknya. Itu barusan gue pindahin ke kamar. Kasian di luar dingin”. Mimid menengok kamar Ludhe yang pintunya tidak tertutup penuh. “ Ngak beli makan Mid? Laperr”. Ergi agak menirukan gaya bicara Mimid yang terlihat sangat manja.
“ Enak aja lo. Emang gue pembokat lo? Nyuruh-nyuruh gue seenak jidat lo”. Gaya bahasa Mimid yang ceplas ceplos banget.
“ Kasian Ludhe. Dia seharian ini belum makan ya? Pantes aja sekarang udah tepar. Udah muka nya lemes banget lagi”. Ergi beranjak dari tempat duduknya. Menyaut sehelai jaket yang terdampar di atas sofa. Ukuran yang pas untuk badanya. Yaiya lah jaket siapa lagi kalau bukan jaket Ludhe. Ukuran yang miris sama setiap dia beli jaket atau kemeja dan kaos lainnya. Karena, Ludhe selalu membeli baju ukuran anak cowok. Biar terlihat ngak ngepres di badannya.
“ Ergi mau keman?”. Teriak Mimid
“ Mau beli in makan buat Ludhe. Nitip sekalian ngak Mid?” sahutnya.
“Ia gue juga. Terserah deh mau makan apa. Yang jelas no bubur”. Instruksi Mimid.
Ergi segera berlalu dari hadapannya. Mengambil motor dan segera melengos pergi mencari makan untuk kedua temannya dan diri nya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar