Rabu, 06 Oktober 2010

Glass Splinter Missing 1.10

Tengah malam, Ludhe masih tertidur pulas. Ergi tidak berani membangunkan untuk mengisi kekosongan perutnya. Muka Ludhe bener-bener terlihat capek. Sedangkan Ergi hanya tidur-tiduran di sofa kamar Ludhe sambil online dan mengawasi Ludhe. Hal seperti ini sudah biasa di lakukan mereka berdua. Menjaga satu sama lain saat salah satu diantara mereka sakit. Karena mereka sendiri tidak akan berbuat hal-hal yang aneh di dalam kamar.Walau berdua sekalipun. Ergi tetep asyik online dengan laptop Ludhe. Tiba-tiba Ludhe bangun tanpa Ergi sadari.
“lho? Lo tidur sini Gi?”. Suara Ludhe mengagetkan Ergi tiba-tiba.
“ Ow dasar . Bikin jantung copot aja. Ia tadi kamu itu tiba-tiba tidur di bahuku. Muka mu keliatan capek banget, badan mu lemes. Ya udah tak bawa ke kamar”. Ergi bangkit dari kursinya. Berjalan keluar kamar. Menyusuri benda-benda yang ada di rumah itu, Ergi ke dapur untuk mengambil makanan buat Ludhe. Terlihat sepotong paha ayam, sambal dan beberapa sayuran hijau yang terhias di atas piringnya. Di sebelah kanan membawa piring se isinya, dan di sebelah kiri tangan Ergi membawa segelas air minum.

Glass Splinter Missing 1.9

.” Beneran kamu De’ ngak ada yang mau di ceritain ke aku?”. Tanyanya menyelidik.” Beneran deh enggak. Suer”. Ludhe angkat lengan kanan nya dan tangan nya membentuk angka v untuk membaground in kata-kata “suer”-nya. “Mulutmu yang bilang engak De’ tapi matamu yang bilang ia”. Rasanya tengorokan Ludhe seperti tersangkut benda tajam ketika Ergi berkata seperti itu kepadanya. “Andai lo bisa rasain apa yang gue rasain Gi’, pasti saat ini gue udah cerita panjang lebar ke lo. Dan mungkin ngak bakalan hari ini kita bahas tentang Gatari. Walau sebenarnya aku yang memulai sih.” Suara batin Ludhe yang terlihat sangat terisak kesakitan. Tiba-tiba saja tangan dan kaki Ludhe bergetar perlahan. Keringat dingin agak mengalir di tubuhnya. Rasa ngilu yang bener-bener sulit di tahan. Seakan aktifitas semua organnya mulai berhenti sejenak. Muka Ludhe agak mengrenyit menahan rasa capek yang datang tiba-tiba pada tubuhnya. Berusaha menutupi agar Ergi tidak panik melihat keadaannya yang sebenarnya. “ Gi’, gue nupang kepala gue ke bahu lo ya. Bentar aja” Suara Ludhe terdengar sangat lirih. “ knapa kamu De’? ia tumpangin aja”. Membatu Ludhe meletakkan di bahunya. Ergi melihat keadaan Ludhe yang tiba-tiba aneh. Seumur-umur , selama Ergi barengan terus sama Ludhe, baru kali ini ludhe terlihat sangat capek dan tanpa senyum atau cekikikan di hadapan nya. Capek yang bener-bener terlihat kesakitan. Karena tidak tega melihat keadaanya yang seperti itu, Ergi membopong Ludhe ke kamar nya. Mengangkat dengan sekuat tenaga. Membaringkannya diatas ranjang. Ergi hanya duduk di sebelahnya. Menunggu Ludhe tertidur dan mengosokkan minyak kayu putih di bagian leher dan kakinya. Ergi berpikir kalau Ludhe hanya kecapekkan saja. Setelah melihat Ludhe sudah tertidur dan tidak sadarkan diri, Ergi kembali lagi keluar kamar dan duduk di depan tv. Tepat seperti posisi sebelumnya. Dari dalam terlihat hujan sudah mulai reda. Mimid keluar dari kamarnya dengan mengenggam ponsel di tangan kanan-nya.

Glass Splinter Missing 1.8

“Ini baju lo. Cepet ganti sana”. Ludhe lemparkan handuk dan baju cadangannya yang ada di rumah Ludhe. Karena Ergi sering banget bermalam tiba-tiba di rumah kontrakan mereka.Ergi langsung saja berjalan menuju kamar Ludhe untuk mengganti pakaian yang masih kering. Tak lama di dalam kamar Ludhe, Ergi kembali lagi keluar dengan kostum yang berbeda.”Tuh minuman lo”. Suara Ludhe terdengar agak sengak. “Nada bicaramu ngak enak banget sih De’?”.
“Haah? Kenapa emang?” tampangnya agak inocen.
“ Eh,, Ergi.. dari mana lo Gi?”suara centil Mimid memotong perbincang yang baru mereka mulai. “ Eh lo Mid? aku dari Batu. Capek tau ngak sih”. Ergi selalu menganggap Mimid seperti anak kecil. Gaya bicara yang selalu meliuk liuk dan dengan cangkok yang pas dengan muka nya. Berbeda dengan Ludhe . Cewek bermulut tipis yang kalau bicara jarang ada space nya dan kalau lagi dingin , nada bicaranya sengak banget. Udah gitu di dukung dengan muka judesnya. Semua orang pasti bakalan bilang sedemikian panjangnya untuk mengritik Ludhe kalau orang itu belum kenal Ludhe sebelumnya. “ Mid si Anjar telfon tuh”. Suara Ludhe mengema sampai ruang tengah. Mimid segera lari tergopoh-gopoh menhampiri ponsel samsung yang berada di atas ranjang tidurnya. Mengeser sedikit pintu kamarnya, agar perbincangan mereka tidak terdengar oleh dua makhluk lainnya yang berada dalam satu atap bersamanya.

Glass Splinter Missing 1.7

Motor Ludhe sudah terparkir di depan teras rumahnya. Sore itu terlihat sangat mendung,semendung apa yang sekarang di rasakan oleh hatinya. Tak terdengar sedikitpun suara Mimid dari dalam rumah. Ludhe membuka gagang pintu rumahnya. Sepatu Ludhe menginjakkan lantai yang ada di ruang tamu. Keadaan rumah terlihat sangat sepi. Hanya beberapa hembusan angin yang menghuni kediamannya.
“Mid..mimid??” pangilnya dengan pelan solah memastikan ada seseorang yang menghirup oksigen di dalamnya. Ludhe langsung saja menyalakan TV flat yang ada di ruang tengah. Tanpa harus mengganti pakaianya dan mandi terlebih dahulu. Capek yang dia rasakan sampai menghiasi raut mukanya. Mengganti chanel tv satu persatu. Tak terlihat acar tv yang menarik sore itu. Sedangkan di luar rumah sudah terlihat tetesan air hujan yang mulai menghapus semua jejak siapapun yang melintas di bumi. Terlihat sosok Mimid keluar dari kamarnya. Dengan rambut basah yang terurai panjang di punggungnya. Dan muka segar setelah merasakan guyuran air. Beserta baju babydol bermotif garis vertikal yang menutupi semua organ tubuhnya. Ludhe memperhatikan Mimid dengan muka diam tanpa ekspresi.

Glass Splinter Missing 1.6

“De’..” sapaannya membuat Ludhe kaget.
“Eh mas Eka’ ?” terpancar muka agak kesal di dalamnya, walaupun saat itu dia berusaha tersenyum dengan kedatangan Eka yang tiba-tiba. Eka ikut membuka laptop di atas meja yang di tempati Ludhe sebelumnya. Ikut online menemani Ludhe yang terlihat sendirian di meja putih itu. “Tumben ke kampus mas? Ngak sibuk sama skripsi mu?”. Tanyanya dengan tetap memfokuskan kedua matanya di layar laptop vaio. “ Yah lagi bosen di rumah . Anak-anak juga pada keluar. Yaudah aku kesini . Soalnya aku tau De’ pasti kamu online di sini. Pinter udah belajar ngak pake “ gue,lo” ke aku”. Tangan besar Eka mengusuk rambut panjang Ludhe . Seperti mengusuk kepala anjing saja. Ludhe reflek membuang tangan Eka dan tertawa.

Glass Splinter Missing 1.5

“De’..” . Dari kejauhan seseorang memangil nama nya. Mata dan pendengaran Ludhe reflek mencari suara tersebut berasal. Mata Ludhe susah berakomodasi. Semua pandangan terlihar samar-samar. Sedikit agak mengrenyitkan keningnya.
“ Eh lo Ra? Ada apa ?”. Sembari meraih kacamata berframe kotak berwarna bening. Agar semua pandangan tidak terlihat kabur.
“ Anterin aku dong..”. Ludhe agak terlihat heran menatap Ocktora setelah mendengar permohonannya. Walaupun diantara mereka sebenarnya baik-bain saja. Hanya saja rasa ilfeel Ludhe pada Ocktora setelah melihat ulahnya di dindin facebook Ergi.

Glass Splinter Missing 1.4


Usai kuliah Ludhe jarang langsung pergi menuju biliknya. Seperti rutinitas yang sering di lakukannya, online di taman sebelah tugu yang ada di kampusnya. Mahasiswi semester empat ini, selalu menantikan kedatangan morot vixion merah yang usai di modif melintas di depannya. Syukur-syukur kalau di juga berhenti dan ikut online di taman di mana dia berada. Walaupun sebenarnya mereka sering online bareng sih. Karena, kalau boleh di bilang mereka sebenarnya bukan lah sekedar teman yang pergi beramai-ramai untuk kesenangan semata dan tanpa memperdulikan orang lain di antarannya. Melainkan mereka sudah seperti sahabat atau sodara. Tapi anehnya, kenapa Ludhe bisa mempunyai perasaan lebih kepada Ergi?. Mungkin seperti apa yang orang jawa katakan. “ Witing tresno jalaran soko kulino”. Atau kalau dibahasa Indonesiain, “ cinta itu di awali karena sudah terbiasa bersama”. Yah gimana enggak?. Mereka mulai kenal satu sama lain berawal dari ospek yang saling membutuhkan barang bawaan ospeknya yang kurang. Saling tukar menukar kalau ada yang lebih. Berawal dari kecanggungan dan berjalan belajar untuk menetralisir semua keraguan sampai akhirnya menjadi sebuah kebiasaan dan fakta dari itu semua, salah satu diantara mereka menganggap persahabatan mereka berubah menjadi sebuah cinlok.

Glass Splinter Missing 1.3

“udah ni Njar minuman lo. Gue tinggal ke kampus dulu !”. Pamitnya singkat sembari menyodorkan segelas jus semangka di atas meja nya. Terlihat Ludhe sangat tergesa gesa. Berangkat dengan vario putihnya. Pandangan Ludhe tertuju pada ruas-ruas jalan yang di lewati. Tak jauh jarak antara rumah dengan kampus Ludhe. Tetapi hari ini, dia harus pergi ke pom bensin terlebih dahulu. Mengisi bahan bakar untuk  scoter matic nya. Perjalanan mengisi bahan bakar hanya memakan waktu sampai sepuluh menit saja. Seketika , Ludhe teringat pada kunci rumahnya yang tertinggal di dapur pada saat membuat segelas jus untuk Anjar. Pacar Mimid. Sesegera Ludhe mengeluarkan ponsel tipisnya dari saku celana jins yang di kenakannya. Menekan-nekan keypad nya mencari-cari nomor seseorang yang terdaftar di dalam list phonebook nya. Tangan kanan tetap fokus pada steer. Sedangkan tangan kirinya berusaha untuk menyelinapkan ponsel kedalam helm agar terdengar sampai gendang telinganya. Menunggu seseorang di seberang sana menjawab panggilan yang sudah di kirim. Tak lama kemudian.

Glass Splinter Missing 1.2

“ Mid gila ni anak. Ganjen banget sih ama si Ergi?” sergap Ludhe penuh emosi, seketika dia sedang melihat FB Ergi. “ Udah lah De’ biarin aja. Mungkin tu si Ergi malah tambah ilfeel sama tu cewek. Kan Okctora temen kita juga De’. Tega banget sih lo!”. Sahut Mimid dengan nada yang tidak mempihak kedua-nya. “ Ia juga sih.., ah biarin deh belum tentu juga apa yang kita harepin bisa kewujud, siapa dia siapa gue coba?”. Ludhe menyimpan perih di hatinya walaupun status “pacaran” tidak ada diantara ke duanya. Ludhe kembali mengeraskan volume laptopnya. Dan asyik menggerakan jari-jarinya di atas keyboard laptop vaio nya. Tiba-tiba terdengar suara mobil yang sedang berhenti di depan rumahnya. Ludhe dan Mimid mengabaikan suara itu. Mereka asyik dengan pekerjaan masing-masing.